BURUH PERKEBUNAN DI PERKEBUNAN TEMBAKAU
BANDAR KLIPPA SUMATERA UTARA (1957-2005)

(DOLUNG SITUMORANG)


BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belahang
Permasalahan buruh perempuan banyak mendapat perhatian dari semua pihak. Sebab buruh perempuan paling mudah mendapat perlakuan kekuasaan dan penindasan  dari pengusaha. Hal ini dapat dilihat terutama para tenaga kerja wanita (TKW) yang bekerja di luar negeri. Mereka sangat menderita dan banyak mengalami bentuk kekerasan penyiksaan dari majikan mereka.
Buruh perempuan mendapat perlakuan yang tidak sewajarnya, lebih-lebih dengan adanya peraturan-peraturan “Peonale Santie” yaitu syarat yang bisa berakibat hukuman bila di langgar.
Tindakan kekerasan yang mereka alami adalah bentuk penindasan dari pengusaha perkebunan atas buruh yan tidak mau melaksanakan perintah yang sewenang-wenang oleh penguasa perkebunan.
Sejak pembukaan perkebunan di Sumatera Timur (deli) banyak kepentingan dari berbagai pihak yang muncul. Perubahan social, ekonomi juga terjadi. Niehhuys adalah orang yang pertama membuka perkebunan di Sumatera Timur (Deli) setelah mendapat konsesi tanah dari sultan Deli ( Mahmud Perkasa Alam). Keberhasilan Nienhuys dalam membuka perkebunan tembakau membuat para perintis lainnya tertarik untuk mengadu keberuntungan di Sumatera Timur.
Keberhasilan Nienhuys dalam mendatangkan keuntungan yang besar, ia pun berhasil mengumpulkan modal membuka perkebunan yang terletak antara sungai Deli dan Percut. Dari usaha itu ia mendapat keuntungan 100% lebih dan kemudian terbentuklah Deli Maatscappij.
Deli Maatscappij. Adalah perusahaan yang didirikan di Sumatera Timur atau sebenarnya di seluruh Hindia Belanda. Deli Maatscappij didirikan tahun 1869 dengan pendirinya Nienhuys, G.C Clemen (seorang pedagang tembakau Amsterdam), P W Janssen (pedagang Amsterdam). Deli Maatscappij. Suatu perusahaan perseroan terbatas (N.V : Naanloze Vennootschap) dengan modal sepenuhnya dari Netherlandchep Handels Maatschappij (NHM) dan P.W Jenssen sebagai direkturnya.
Maskapai deli berjalam sesuai dengan rencana yang dibuat oleh Nienhuys yang memusatkan kegiatannya pada produksi tembakau, dan bahkan sepanjang sejarahnya ia mendapat penghasilan tembau gulung yang terkenal di Sumatera Timur bahkan sampai ke dunia Internasional. Selain tembakau juga menyediakan penganeka ragaman tanaman serta menghapus jenis-jenis tanaman yang terbukti tidak menguntungkan.
Perusahaan ini memperoleh nama baik dikalangan Onderneming yang menjadi kekuatan di Sumatera Timur. Waktu didirikan, perusahaan ini mengusahakan lahan seluas 7.000 hektar. Dalam tahun 1941 diperluas sampai 180.000 hektar.
Usaha perkebunan selalu berkaitan dengan tenaga kerja. Tenaga kerja yang diperlukan bukanlah sembarang buruh tetapi buruh yang dapat dibayar denga gaji murah karena dengan kondisi seperti itu usaha perkebunan dapat dijalankan sukses dalam artian ekonomi.
Untuk memenuhi kondisi buruh, pihak Onderneming mengambil kebijakan untuk mendatangkan buruh dari luar Sumatera yaitu Jawa. Para pekerja Jawa terkenal dengan sifat rajin dan patuh. Pekerja Jawa terkenal sebagai kuli kontrak Deli, oleh karena mereka dikerahka lewat agen-agen YANG TERKENAL SEBAGAI “Werek Deli”. Hubungan kerja kemudian dikukuhkan. Ebagai kontrak, sehingga mereka terikat untuk bekerja selama suatu periode tertentu.
Buruh yang didatangkan selain buruh laki-laki terdapat juga buruh perempuan, namun jumlah mereka sangat sedikit. Diantara mereka ada yang ikut dengan suami untuk bekerja di perkebunan. Denga latihan yang ketat mereka menjadi pengsorter dan penghimpun daun-daun tembakau yang cukup cekatan.
Selama periode colonial Belanda istilah buruh kontrak digunakan, namun secara berangsur-angsur sampai kepada penghapusan. Undang-undang itu tidak menetapkan batas tanggal akhir. Namun penyerbuan Jepang ke Hindia yang melenyapkan kontrak-kontrak buruh yang terkait.
Pendudukan Jepang selama 4 tahun di Indonesia telah mempunyai pengaruh ekonomi, social, dan politik. Di Sumatera Timur (Deli) para pengusaha Onderneming kehilangan sekutu-sekutumereka yaitu pengusaha kecil, para petani dan buruh yang sebelum berperang tidak bersuara, kini telah mengorganisasikan ke dalam serikat-serikat buruh.
Tahun 1950 pemerintah Indonesia menghadapi permasalahan yaitu memfunsionalisasikan kembali perkebunan untuk memperoleh divisa dan di pihak lain menata kembali urusan tanah dan tenaga kerja sehungga dapat menarik investasi modal dalam perusahaan perkebunan.
Selam periode 1957-1960 terjadi beberapa perubahan penting dalam kehidupan politik yang mempengaruhi kebijakan pemerintah, yang mencakup perdagangan, perindustrian dan perkebunan. Sejalan dengan kebijakan tersebut pemerintah memiliki dasar untuk melaksanakan usaha pemilikan modal secara langsung dengan jalan mengambil alih perusahaan swasta Belanda yang ada di Indonesia. Proses pengambilalihan perusahaan Belanda ini berlangsung sejak Desember 1957 yang dikenal dengan proses “Nasionalisasi” perusahaan asing.
Salah satu perusahaan yang diambil yaitu N.V Deli Maatscappij yang merupakan cikal bakal dari P.T. perkebunan IX yang kemidian mengalami beberapa proses dan akhirnya pada tanggal 10 Maret 1996 sampai sekarang resmi menjadi PTPN II Persero.
PTPN II Persero perkebunan Bandar Klippa merupakan perusahaan yang mayoritas kegiatannya adalah menangani tanaman tembakau, selain itu kelapa swit dan tebu. perkebunan Bandar Klippa banyak mambutuhkan buruh untuk menunjang kegiatan perkebunan. Buruh yang bekerja di perkebunan ini selain buruh laki-laki, perempuan juga ikut di dalamnya baik sebagai buruh harian tetap (BHT) maupun buruh harian lepas (BHL).
Dari uraian diatas peneliti ingin mengetahui dan merasa tertarik untuk meneliti keadaan buruh perempuan perkebunan tembakau, apakah kondisi yang terjadi pada masa lampau (buruh perempuan) masih terjadi dan berlanjut pada masa kini. Khusus pada buruh perkebunan tembakau Bandar Klippa. Dengan judul Buruh Perempuan Di Perkebunan Tembakau Bandar Klippa Sumatera Utara (1957-2005).



  1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dikemukakan identifikasi masalah sebai berikut.
1.      Perkembangan perkebunan di Sumatera Timur (Deli) setelah didatangkannya para kuli kontrak dari luar Sumatera.
2.      sulintnya merekruk tenaga kerja di Sumatera Timur pada awal pembukaan perkebunan.
3.      buruh perempuan di perkebunan tembakau Bandar Klippa.
4.      keadaan buruh perkebunan setelah diberlakukannya Peonale Sanctie.

  1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti membatasi masalah yaitu “Buruh Perempuan Di Perkebunan Tembakau Bandar Klippa Sumatera Utara (1957-2005)”.

  1. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
  1. bagaimana latar belakang dan sejarah datangnya buruh perempuam ke perkebunan Sumatera Timur?
  2. bagaimana bentuk-bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh pengusaha terhadap buruh perempuan di perkebunan tembakau Bandar Klippa pada tahun 1957-2005?
  3. apakah bentuk-bentuk p[elecehan dan kekerasan masih terjadi pada buruh perempuan di perkebunan tembakau Bandar Klippa tahun 1957-2005?

  1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
  1. bagaimana latar belakang dan sejarah datangnya buruh perempuam ke perkebunan Sumatera Timur
  2. bagaimana bentuk-bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh pengusaha terhadap buruh perempuan di perkebunan tembakau Bandar Klippa pada tahun 1957-2005
  3. apakah bentuk-bentuk p[elecehan dan kekerasan masih terjadi pada buruh perempuan di perkebunan tembakau Bandar Klippa tahun 1957-2005?

  1. Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian diatas, maka dapat diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk:
  1. Memberi pengetahuan bagi peneliti dan pembaca mengenai latar belakang dan sejarah datangnya buruh perempuan ke perkebunan Sumatera Timur.
  2. Sebagai penambah wawasan bagi peneliti dan pembaca mengenai bentuk-bentuk diskriminasi yang dilakukan pengusaha terhadap buruh perempuan di perkebunan tembakau Bandar Klippa.
  3. Memberi wawasan kepada peneliti tentang penulisan sebuah karya ilmiah.
  4. Sebagai bahan masukan perbhandingan bagi peneliti lain yang ingin meneliti masalah yang sama pada waktu dan tempat yang berbeda.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

  1. Tinjauan Pustaka
Pembentukan perkebunan tembakau di Sumatera Timur (Deli) yang dilakukan oleh Nienhuys membuat dan menyebabkab terbukanya wilayah perkebunan terhadap penanaman modal asing Eropa, khususnya pemerintah belanda untuk memperluas daerah perkebunan tembakau.
Tahun 1863, Nienhuys berhasil membuka perkebunan tembakau unutk pertama kalinya. Setelah mendapat konsesi dari Sultan Deli (Mahmud Perkasa Alam) seluas 4.000 bau selama 20 tahun, 5 tahun pertama bebas dari membayar sewa sesudah itu hanya $ 200 perbau.
Dalam pembukaan perkebunan unsur yang yang tak kalah pentingnya adalah masalah tenaga kerja yang akan bekerja di perjebunan. Penduduk pribumi (Melayu dan Batak) yang hidup berserak-serak dianggap tidak ada dimata kaum kapitalis. Pemberian konsesi tanah oleh orang batak dan melayu kepada Nienhuys oleh Sultan Deli tidak adil, karena dalam pemberian konsesi tanah itu Sulta Deli tidak memperankan datuk-datuk Urung dan raja-raja kecil ditanah Deli.
Dengan adany pemberian konsesi tanah pada perkebunan Belanda akibatnya semakin sempit tanah orang Batak dan orang Melayu. Akibatnya Nienhuys tidakmendapat buruh untuk bekerja di perkebunan. Penduduk setempat mempunyai lahan yang sangat luas dan bisa berhuma dan pertanian berpindah-pindah tidak mau bekerja secara teratur enam hari seminggu dari pagi sampai senja, tidak ada orang Melayu dan Batak Karo yang bersedia bekerja untuk Nienhuys dan perkebunan dengan cara yang teratur seperti itu.
Nienhuys sendiri mengungkapkan bahwa penduduk setempat )Melayu dan Karo) tidak bersedia bekerja di perkebunan karena menurutnya meraka bukanlah tenaga yang cocok, karena tidak punya disiplin dan malas, orang Batak ia golongkan dalam “bangsa yang umumnya bodoh”.
Perkataan Nienhuus sendiri dilatarbelakangi atas kekecewaannya karena tidak berhasil bekerja sama dan mempekerjakan penduduk setempat diperkebunannya. Kemudian Nienhuys terpaksa membeli buruh-buruh Tionghoa dari Penang, namun kondisi ini tidak berlangsung lama karena banyak buruh yang melarikan diri setelah bekerja di perkebunan, karena mereka tertipu dan tidak tahan lama. Akibatnya perkebunan Nienhuys mulai berpikir untuk memakai buruh dari wilayah Hindia Belanda.
Para pekebun (Planters)tidak pernah bisa memanfaatkan suku Melayu dan Karo karena ketidaksediaan mereka bekerja sebagai buruh-buruh perkebunan, sehingga para pekebun ini harus mendatangkan buruh perkebunan dari tempat-tempat yang amat jauh dengan biaya yang amat mahal.
Para pengusaha akhirnya mendatangkan buruh asal Cina, India, dan Pulau Jawa mereka inilah yang disebut dengan kuli kontrak. Dengan upah yang sangat murah serta kesejahteraan yang jauh dari nilai kemanusiaan.
Dalam hal ini Belanda memilih Jawa dengan pertimbangan di Jawa sudah terlampau padat penduduknya dan lagi pula orang Jawa sudah terkenal dengan sifat rajin dan patuh.
Kedatangan buruh asal Cina, India maupun Jawa menjalani kondisi yang sama,l mereka diperlakukan tidak layak dan diwajibkan untuk menandatangani kontrak kerja tanpa mengetahui apa isinya.
Biaya yang ditanggung oleh para majikan dalam mendatangkan buruh yang sangat besar, maka pengusaha perkebunan harus menemukan cara untuk “mengikat” buruh agar “alat produksi” tidak lepas dan tetap dalam sekapan mereka.
Sering sekali terjadi bahwa kuli kontrak tersebut tidak mau bekerja dan melarikan diri, maka dikeluarkan undang-undang buruh yang memberi hak pada pengusaha untuk memaksa para buruh bekerja dan menamgkap bila mereka melarikan diri dan mengembalikan ke perkebunan. Undang-undang ini disebut “peonale sanctie” yang artinya “syarat yang bisa berakibat hukuman bila dilanggar”.
Para buruh yang didatangkan selain buruh laki-laki, buruh perempuan juga diikut sertakan, selain upah mereka yang rendah, mereka mendapat perlakuan yang kasar dari majikan dan mandor sehingga berakibat penderitaan dan kesengsaraan bagi buruh perempuan.
Demikian keadaan para buruh pada awal pembukaan perkebunan mendapat perlakukan menyedihkan sehingga menyengsarakan mereka. Apalagi buruh perempuan yang lebih mudah dieksploitasi baik secara fisik maupun mental. Buruh perkebunan dan kehutanan paling mudah dieksploitasi, bukan saja karena tempat yang mudah dijangkau, juga perlindungan yang kurang memadai untuk itu masih sangat terbatas, tak jarang kekerasan menjadi bagian dari pekerjaanya. Terutama buruh wanita menjadi sangat rentan ancaman terhadap terjadinya penindasan, pelecehan dan bahkan pemerkosaan/.
Kedatangan para buruh perempuan ke Sumatera Timur (Deli) terjadi beberapa tahun setelah pembukaan perkebunan, tetapi jumlah mereka sedikit, mereka ikut dengan suami untuk bekerja di perkebunan. Kemudian kedatanagn buruh perempuan ke Sumatera Timur tidak untuk bekerja di perkebunan saja, tetapi didatangkan untuk memnuhi kebutuhan seks para tuan kebun dan buruh laki-laki yang ada.
Didatangkannya beberapa ratis orang perempuan tak bersuami terutama gadis-gadis muda ke Sumatera Timur tiap tahun oleh perkebunan besar menjelang akhir abad ke-19 bukan untuk memenuhi kebutuhan seksual kuli laki-laki tetapi kenyataanya demikian.
Sedikitnya perempuan di perkebunan dapat menimbulkan perbuatan seksual antar sesama jenis (homoseksual). Homoseksual bisa terjadi antar orangCina di pemukiman yang tidak ada atau sdikit sekali perempuannya. Pemukiman demikian banyak ditemukan tidak hanya di daerah ini, tetapi juga di Stratts Settlements karenanya, saya tak yakin jika di perkebunan pernah dikeluhkan oleh orang cina tentang kekurangan atau tiadanya perempuan.
Pembunuhan yang diakibatkan oleh Cinta sesama jenis bukan hal yang aneh di perkebunan. Hal itupun tak bagitu mengherankan, aebab hebungan tersebut berlangsung di depan mata banyak orang. Di edalam barak pelacuran laki-lakipunya tempat tidur sendiri lengkap dengan gorden yang dihiasi dengan aksesorisnya.
Dengan kondisi yang demikian maka para pengusaha perkebunan akhirnya mengambil keputusan untuk mendatangkan perempuan ke Sumatera Timur secara resmi dan mempekerjakannya di perkebunan, yang awal kedatangan mereka hanya untuk memenuhi kebutuhan seksual para tuan kebun dan buruh laki-laki.
  1.  


BAB III
METODE PENELITIAN

  1. Metode Penelitian
Penelitian ini memakai metode studi keperpustakaan (Library Research). Metode perpustakaan digunakan untuk mencari sumber sumber sekunder yang didapat dari buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

  1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah Desa Bandar Klippa. Alasan penulis menetapkan desa tersebut sebagai lokasi penelitian karena Desa  Bandar Klippa merupakan lokasi perkebunan Bandar Klippa, dan dapat dijumpai imforman yang berhubungan langsung dengan perkebunan Bandar Klippa sebagai buruh perempuan.

  1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh buruh yang bekerja di perkebunan tembakau di Bandar Klippa Sumatera Utara.
Untuk menetapkan sample dalam penelitian ini maka penulis menggunakan Purposive Sampel. Sample dalam penelitian ini adalah beberapa buruh perempuan yang bekerja di perkebunan tembakau di Bandar Klippa,

  1. Sumber Data
Data yang digunakan peneliti untuk menegakkan fakta diperoleh dari data primer dan data sekunder.
-          Data primer bersumber dari wawancara yaitu informan yang terlibat langsung dalam masalah yang diteliti
-          Data sekunder bersumber dari literature-literatut, buku, artikel, dokumen, dan surat kabar yang memiliki keterkaitan dengan masalah yang diteliti.

  1. Teknik Analisi Data
Dalam penelitian lapangan (Field Research) dan penelitian kepustakaan (library research), peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui pendekatan berpikir analisi dengan cara mengumpulkan data, menyusun, memverifikasikan data dan kemudian menganalisanya.


Diposting oleh dolung
Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates